Banten

Banten adalah persembahan suci sebagai buah dari pemikiran untuk dapat menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih;
Artinya dengan pemikiran yang lengkap dan bersih untuk dapat mewujudkan persembahan yadnya itu yang sebagaimana dinyatakan dalam “Lontar Tegesing Sarwa Banten”;
“Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang”
Bila dihayati secara mendalam, 
Banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci

Sehingga dalam mewujudkan banten untuk dapat dipersembahkan hendaknya berwujud indah, rapi dan mengandung simbol-simbol unik yang diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. 

Dan dalam filosofinya, bentuk banten itu juga disebutkan mempunyai makna dan nilai yang tinggi untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih yang sebagaimana dikutip dalam salah satu keterangan dari sebuah gambaran banten oleh Hindu Bali di Fb yang dipersembahkan dalam berbagai upacara yadnya di Bali; 
Banten terwujud dari berbagai bentuk seperti reringgitan dedaunan yang indah dalam seni budaya sebagai cipta dan rasa manusia pada sebuah upacara yadnya untuk dapat menghubungkan diri dengan yang dipuja atau sang pencipta.

Dalam sejarahnya, dahulu ketika zaman pra aksara disebutkan bahwa setelah adanya benda-benda alam brahmanda yang telah dapat berdiri sendiri-sendiri, dimana sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. 
  • Ada disampaikan dengan bahasa lisan seperti daiwiwak sebagai bahasa sabda dewata yang sesuai dengan sastra yadnya dalam bahasa tulisnya.
  • Kemudian, ada juga yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali
Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. 
  • Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda;
  • Dan bahasa Mona itu adalah banten dimana dalam teks-teks kuno disampaikan :
    • Lontar Yajña Prakrti” disebutkan:
      • “Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana”, artinya:
        • Semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta) seperti halnya :
          • Banten Pejati untuk kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya.
    • Dalam “Lontar Tegesing Sarwa Banten”, dinyatakan:
      • “Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang”, artinya:
        • Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. 
  • Bentuk tetandingan banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. 
  • Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.
Demikian disampaikan dalam berbagi ilmu pengetahuan seperti halnya Bhuta Yadnya yang disebutkan disamping bertujuan untuk memohon kehadapan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) agar beliau memberi kekuatan lahir bathin; 
Juga untuk menyucikan dan menetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif.
Penggunaan Banten dalam makna upacara yadnya juga dimaksukan sebagai persembahan suci sebagai yadnya yang tulus iklas kepada Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya. 
  • Dalam hal, ini banten menjadi simbul berserah diri kepada kebesaran Nya. 
  • Dengan kata lain, 
banten sebagai media untuk menyatakan sraddha dan bhakti oleh umat kepada Nya. 
Sebagai persembahan suci yang dalam Siwa Sidhanta disebutkan bahwa banten itu mempunyai berbagai arti positif. Adapun nilai positif dari Banten tersebut, yaitu :
  1. Upakara Bebantenan merupakan pelajaran atau alat konsentrasi pikiran untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya. 
    • Misalnya bagi seseorang yang sedang membuat banten maka dengan tidak sengaja dia telah membayangkan 
    • kehadapan siapa atau ke pura mana banten tersebut akan dipersembahkan?
  2. Pembuatan banten akan menuntut penyesuaian diri dengan tingkatan kemampuan berdasarkan Tri Angga dalam upakara yadnya sehingga mengurangi egoisme. 
    • Yang merasa mampu akan membuat banten dalam tingkat yang lebih tinggi, 
    • sedangkan yang kurang mampu akan membuat banten dalam tingkatan yang lebih rendah.
  3. Pembuatan banten juga akan mendorong pertumbuhan dan perputaran ekonomi rakyat. 
    • Dibuatnya banten tingkat utama oleh mereka yang mampu, akan memberi kesempatan bagi golongan kurang mampu untuk menyediakan bahan-bahannya. 
    • Hal ini dapat meningkatkan kemampuan golongan masyarakat bawah, sehingga pendapatan merekapun akan menjadi semakin meningkat.
  4. Pada saat piodalan di Merajan misalnya, menggunakan beberapa jenis banten yang di unggahkan ke semua pelinggih, seperti diantaranya :
    • Daksina sebagai stana Hyang widhi dalam manifestasinya sebagai dewa Brahma selaku utpeti pencipta alam semesta ini.
    • Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang Widhi.
    • Plawa sebagai lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci.
    • Rarapan sebagai oleh-oleh yang dipersembahkan sebagai rasa syukur kepada Beliau, karena Beliau telah memberikan keselamatan dan kerahayauan bagi umatnya.
    • dll
Dengan segala banten sebagai persembahan serta mantra-mantranya yang selalu mengiringi pelaksanaan upacara yadnya agar nantinya : 
  • Manusia dapat berbudi luhur atau memiliki sifat kedewataan di mayapada ini 
  • yang pada saat nantinya bisa amoring acintya dengan Sanghyang Widhi sebagai pencipta segala yang ada di alam ini.
***