Manumadi

Manumadi adalah wujud keyakinan manusia Bali terhadap konsep reinkarnasi (kelahiran kembali) yang dilaksanakan dengan upacara meluasang;  
Karena mungkin saja kelahiran dan hidup ini merupakan sengsara, sebagai hukuman yang diakibatkan oleh perbuatan atau karma wasana di masa kelahiran yang lampau dengan jangka waktu pembebasan diri dari samsara yang merupakan salah satu bagian dari Panca Srada dalam keyakinan umat Hindu di Bali.
Ngidih nasi atau tuun manumadi ini memang menjadi keyakinan yang sudah mengakar kuat di benak orang Bali.

Dan dalam menguak misteri perihal "ngidih nasi", wujud keyakinan reinkarnasi Bali dalam sebuah portal BaliSaja.com disebutkan bertujuan untuk mengetahui siapa yang ngidih nasi penting bagi orang Bali untuk memahami karakter sang bayi yang biasanya karakter tersebut tidak jauh berbeda dengan karakter leluhur yang manumadi tersebut.

Seorang penekun agama Hindu, I Gusti Ketut Widana mengatakan dalam pemahaman Sradha Punarbhawa, yang turun menjelma bukanlah dalam pengertian genital. 
Yang diturunkan sebetulnya sifat-sifat roh sang dumadi. 
Diharapkan nantinya, 
Melalui penjelmaan kembali itu, bisa memperbaiki dan atau menyempurnakan karma sang dumadi dari asubha karma (perbuatan buruk) menjadi subhakarma (perbuatan baik).
“Jadi, dalam proses penjelmaan, bukan jenis kelaminnya yang penting, 
tetapi sifat-sifat sang dumadi itu yang melalui penumadiannya kini akan terus berikhtiar menyempurnakan kamranya,” jelas Widana dalam buku Mengenal Budaya Hindu di Bali.
Memang umumnya, jika yang dinyatakan tuun manumadi adalah “pernah” kakek, sang bayi berjenis kelamin laki-laki. 
Tapi, bisa jadi juga yang dinyatakan tuun manumadi “pernah” nenek, tetapi sang bayi berkelamin laki-laki.
Bukan itu saja, yang tuun manumadi bukan hanya satu orang.
Bisa jadi juga yang tuun manumadi lebih dari seorang. Artinya, sang bayi akan mewarisi karakter ketiga sang manumadi.
Dengan mengetahui bagaimana sifat-sifat sang Pitara yang numadi, diharapkan sang bayi kelak tumbuh menjadi besar dapat menyadari tentang siapa dan bagaimana sebenarnya jati dirinya. 
Kesadaran akan jati dirinya itulah yang diharapkan dapat mendorong dirinya untuk menjadi anak yang suputra.
“Karena hakikat putra adalah penyelamat leluhur dari penderitaan,” kata Widana.

Sebagai tambahan dalam rangkaian upacara yadnya disebutkan pula :
  • Sesayut Pawetuan disebutkan juga dilengkapi untuk Sang Manumadi dalam melaksanakan upacara otonan sebagai peringatan hari kelahiran.
***