Aguron-Guron

Aguron-Guron adalah proses berguru dalam pembelajaran khusus untuk dapat menjadi seorang sulinggih yaitu pada tingkatan bhiksuka dimana telah terlepas dari ikatan duniawi yang bertujuan untuk dapat memantapkan dan mengabdikan hidup sepenuhnya dibidang kebenaran dan kesucian dimana dalam beberapa kitab suci disebutkan :
  • Dalam Manawa Dharmasastra II seloka 169 dan 170, disebutkan proses pembelajaran ini dilaksanakan agar nantinya dapat melahirkan para sulinggih seperti berikut :
  • Lontar Silakrama sebagai sasana bagi para sulinggih dan para sadhu agar nantinya juga dapat mengamalkan ajaran etikatata susila dalam mengabdikan hidupnya di bidang kebenaran dan kesucian hati.
    • Dimana dalam Lontar Wratisasana disebutkan untuk tercapainya tingkat kesempurnaan.
    • Diusahakan untuk dapat hidup sederhana; 
      • Tidak mewah, 
      • Tidak hura-hura, 
      • Dan berlaku yang ringan dalam kehidupan ini.
    • Gemar belajar (adhyaya), mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan (adhyapaka), rajin belajar (swadhaya), rajin berpantang dan upawasa (brata), tekun memusatkan pikiran (dhyana), dan rajin menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (yoga) seperti seorang brahmana;
      • Menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan;
      • Serta mampu menujukkan kemahirannya tentang Weda baik teori maupun praktek dalam kehidupan sehari-hari.
Di Bali, proses pembelajaran aguron-guron dari seorang sisya kepada seorang Guru Nabe ini dalam beberapa istilah disebutkan sebagai berikut :
  • Nabe sebagai guru utama dalam proses pendidikan & pembelajaran khusus dalam tradisi aguron-guron.
  • Sisya, para murid sebagai calon pendeta (sulinggih) yang hendak menerjunkan diri dalam hidup keagamaan sebagai “parasraya”.
Guru dan murid adalah satu kesatuan dimana dalam keterangan Photos from Dharma Putra's post in Siwa Siddhanta di Fb disebutkan yaitu :
  • Akan selalu ada ikatan bathin antara guru dan murid.
  • Pada waktu seseorang melakukan diksa/dwijati,
    • Seorang sisya akan lahir kedua kalinya yang pertama lahir dari rahim Ibu dan yang kedua lahir dari gurunya sebagai putra dharma, 
    • Sehingga ada prosesi napak Guru sebagai perwujudan Siwa di dunia dengan selalu menghormati guru maka apa yang beliau ajarkan akan meresap di dalam diri.
Karena demikian pentingnya peran guru maka hati-hatilah memilih seorang guru. Di dalam Lontar Siwa Sasana dikatakan syarat-syarat sesorang yang patut di jadikan guru/acarya/sadhaka sebagai Nabe yaitu :
  1. Ahli weda,yang menguasai bagian-bagian Sanghyang Catur Weda.
  2. Teguh melaksanakan Dharma dan yasa kirti.
  3. Berbudi baik, tabah, teguh hati dalam tapa brata.
  4. Dapat menaklukan hawa nafsu, dapat melepaskan diri dari kenikmatan duniawi.
  5. Memiliki sifat satya :
    • Selalu berkata jujur, setia pada janji dan dia tidak berkata yang kasar, memfitnah, berbohong, menghina sesama sadhaka, tidak menghina orang lain.
    • Dan tidak mencerca kerja dan brata sesama sadhaka.
  6. Selalu mengucapkan kata kata yang benar manis dan lemah lembut, menarik hati dan bersahaja
  7. Dia tidak licik, sombong dan congkak seperti :
  8. Tidak memiliki sifat matsarya, sifat dengki dan iri hati yang disebutkan hanya akan menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan ini.
    Tidak memiliki sifat Metraya yang penuh dengan kepalsuan spiritual.
  9. Dia selalu berpikir bersih, tenang, pengampun, kasih sayang, tidak mudah marah, selalu lapang hati berdasarkan catur paramita (maîtri, karuna, mudita dan upeksa).
Keutamaan guru yang berbudi luhur seperti disebutkan :
Lakshmi duhkha sahasrani

Samsara papa nasanam

Parate naraka nasty

Siwa lokam avapnutyat
Inilah kemuliaannya dia yang berguru kepada yang maha suci ialah :
Hilangnya noda kecemaran orang itu. Atau ia tidak akan tersentuh oleh segala marabahaya, duka nestapa, bebas dari samsara malapataka. 
Berapun banyaknya kepapaan orang, berapapun besarnya, meskipun seribu banyaknya, sebesar bumi dan gunung semeru besarnya dan beratnya, tentu akan lenyap dan hilang sama sekali. Bila didiksa (diinisiasi) oleh pandita guru maha pandita.
Besarnya kesucian pandita guru maha agung mampu menghilangkan papa muridnya. Sebab itu maka hendaknya dipilih pandita guru yang dapat dijadikan tempat berguru oleh sisyanya.

Dalam mengungkap model pendidikan Hindu Bali tradisional aguron-guron ini juga dikembangkan dengan ideologi sakala dan niskala :
  • Secara sekala yaitu ‘realis’ dengan tujuan Parartha ‘kesejahtraan’, yaitu agawe suka nikang rat ‘menjadikan siswa berkarakter dan dapat bekerja untuk kebahagiaan bersama di dunia ini.
    • Sehingga ajaran tri parartha itu sudah sepatutnya selalu dipahami dan di amalkan oleh umat manusia, dengan demikian kesempurnaan hidup ini akan menjadi kenyataan.
  • Sedangkan secara niskala ‘idealis’ dengan tujuan paramartha, yaitu matutur ikang atma ri jatinya ‘menjadikan siswa sadar akan jati dirinya, bahwa ia sesungguhnya adalah roh’ sebagai inti yang menjiwai setiap makhluk hidup untuk dapat kembali ke asalnya.
    • Dengan selalu berpedoman pada dasa paramartha sebagai penuntun dalam tingkah laku yang baik untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi (Moksa) yaiu sukha tan pa wali dukha.
Ajaran aguron-guron ini sebagai penddikan berbasis kearifan lokal yang menjungjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi;
Oleh karena itu terus diperhatikan dan dikembangkan untuk memelihara karakter bangsa, membangun landasan teori pendidikan dan pembelajaran berbasis budaya.
***