Genta

Kata genta berasal dari bahasa sansekerta ghanta yang berarti bel atau lonceng yang pada umumnya diujungnya dilengkapi dengan wajra / bajra bergigi lima dimana dalam sejarah Genta Perunggu Zaman Hindu-Budha di Indonesia disebutkan bahwa tinggalan purbakala ini berasal dari abad ke-7 M.

Genta sebagai sarana yang digunakan dalam mengiringi puja dan mantra oleh pemangku atau para sulinggih dalam memimpin pelaksanaan upacara yadnya.
Dengan dentingan suaranya, semerbak wangi bunga dan dupa beserta alunan gamelan yang menghanyutkan keharuan dalam mengiringi perkembangan agama Hindu untuk dapat melepaskan kerinduan mereka akan suasana magis Bali yang dicintai.
Dan karena Genta, sering digunakan oleh pendeta saat memimpin upacara agama Hindu, 
kini di Bali pun telah dibangun sebuah monumen Bajra Sandhi yang menyerupai bajra (genta) tersebut.
Sehubungan dengan bahan baku genta yang digunakan oleh para sulinggih tersebut biasanya disebutkan menggunakan bahan seperti logam genta, logam lonceng, logam bel atau ritika 
karena bahan - bahan tersebut yang menyebabkan suara genta bunyinya amat nyaring bila dipukul. 
Logam genta terdiri atas 2 macam yakni ritika dan kakatundi , yang sebagaimana disebutkan Parisada Hindu Dharma Indonesia dalam Dhatu atau Logam :
  1. Ritika, jika logam ini dipanaskan dan kemudian dicelupkan ke dalam cuka (kanji) warnanya akan berubah menjadi merah tembaga.
  2. Kakatundi, Bila warnanya berubah menjadi hitam.
Alunan suara sapta genta dalam tetabuhan selonding menurut Lontar Prekempa sebagaimana dijelaskan dalam artikel Purantara Bugbug Denpasar, Genta dengan sapta suara yang sering disebut sebagai genta pinara pitu sejatinya disebutkan berasal dari suaranya alam semesta atau bhuana agung ini, yang ketujuh suaranya disebutkan berasal dari :
  1. Byomantara Gosa, berasal dari Akasa (sebagai unsur dari Panca Maha Butha)
  2. Arnawa Srutti, sebagai unsur Apah.
  3. Agosa, 
  4. Anugosa, 
  5. Anumasika dan 
  6. Bhuh Loka Sruti
  7. Unsur Pertiwi.
Sapta suara genta yang intinya dihimpun oleh Bhagawan Wismakarma menjadi Dasa Suara, yaitu 
  • Lima suara Patut Pelog sebagai Sangyang Panca Tirta 
  • Lima Suara Patut Selendro sebagai Pralingga Sangyang Hyang Panca Geni.
Sehingga pengembangan sapta suara genta tersebut sampai saat ini disebutkan dijadikan unsur dewata dalam kreasi gamelan dalam mengiringi tarian dan seni tradisional Bali yang ada sampai saat ini.

Mantra Ngaskara Bajra, sebagai tuntunan di dalam melaksanakan dewa yadnya disebutkan, sebelumnya bajra disiratin tirtha, ukup di dhupa, baru ngaskara.

Mantra :
OM Kara Sadasiwa stham, Jagat Natha hitang karah
Abhiwada wadanyam, Ghanta sabdha prakasyate
OM Ghanta sabdha mahasrestah, Ongkara parikirtitah
Candra nada bhindu drestham, Spulingga siwa twam ca
OM Ghantayur pujyate dewah, Abhawa-bhawa karmesu
Warada labdha sandeham, Wara siddhi nih samsayam
Ngaskara :
OM OM OM (maklener sekali)
OM ANG UNG MANG (lagi maklener)
OM Ang Kang Kasolkaya Iswara ya namah
(lagi maklener),
Terus bunyikan bajra, sambil siratin toya, ghandaksata, bija dan ukupin di dhupa baru diletakkan.
***