Prahlada

Prahlada adalah seorang anak cerdas dari Raja Hiranyakashipu yang sangat berbhakti, taat dan suka berderma sebagaimana diceritakan dalam kisah penundukan nenek moyang dwipantara yang pada nantinya, Beliau juga memiliki seorang anak yang bernama Bali.
Pada suatu saat, kerajaan yang dipimpinnya pun diserahkan kepada Bali anaknya. Sedangkan Prahlada sendiri pergi ke hutan untuk bertapa. 
Sesuai dengan perilaku ayahandanya, Maharaja Bali pun suka berderma (memberi sedekah) kepada para brahmana dan orang-orang tidak mampu, beliau juga mendirikan Kahyangan-kahyangan (Candi/Pura sebutan saat ini) sebagai tempat persembahyangan bagi rakyatnya.
Tersebutlah dahulu dalam Narayana Smrti, Prahlada diceritakan sebagai sumber segala sifat rohani sebab Prahlada adalah seorang penyembah-murni Tuhan. 
Berkemantapan hati untuk mengerti kebenaran mutlak, Prahlada mengendalikan sepenuhnya indera dan pikirannya. 
Ia berbelas kasih terhadap semua makhluk (sarwa prani) dan menjadi kawan baik semua orang.
Dan terhadap pribadi-pribadi yang terhormat, ia ber-perilaku layaknya seorang abdi rendah, terhadap orang malang ia bagaikan seorang ayah, dan terhadap rekan sederajatnya ia bagai-kan seorang saudara yang penuh rasa simpati
Selalu bersikap rendah hati, ia memandang guru-gurunya, guru spiritual, dan saudara-saudara seguru yang berusia lebih tua darinya sebagai sebaik Tuhan sendiri. Memang, ia sama sekali tanpa rasa sombong yang bisa saja muncul akibat pendidikannya yang baik, kekayaan, kerupawanan, dan kelahiran dalam keluarga bangsawan.
Ayahandanya yaitu Hiranyakasipu tidak mengetahui bahwa Prahlada telah belajar tentang bhakti saat berada di dalam kandungan ibunya. 
Sehingga, ketika Prahlada menginjak usia lima tahun, Hiranyakasipu mengirim Prahlada bersekolah untuk mendapatkan pendidikan materialistik. Prahlada menempuh pendidikan bersama putra-putra Raksasa lainnya. 
Setelah Prahlada menjalani pendidikan di sekolah selama beberapa waktu, suatu ketika Hiranyakasipu memangku Prahlada dan bertanya dengan penuh kasih sayang, 
“Putraku tercinta, ceritakanlah kepada ayah tentang mata pelajaran yang paling engkau sukai di sekolah.”
Prahlada menjawab, 
“Wahai ayah, sejauh mengenai yang saya pelajari dari guru spiritual saya, siapa pun yang menganggap bahwa badan dan kehidupan berumah tangganya yang bersifat sementara ini sebagai kesejatian pasti akan dihantui kecemasan, sebab ia telah jatuh ke dalam sumur kering, gelap dan hanya dipenuhi penderitaan. Hendaknya ia segera meninggalkan rumah, pergi ke tengah hutan, dan berlindung kepada Tuhan.”
Tersentak, Hiranyakasipu tertawa sinis lalu berkata, 
“Seperti inilah kecerdasan seorang anak yang telah tercemari oleh kata-kata musuh!” Dan segera memerintahkan prajuritnya, 
“Jaga ketat anak ini di sekolah. Para penyembah Tuhan bisa jadi datang ke sekolahnya dengan menyamar. Karena itu, jaga jangan sampai kecerdasan anak ini dipengaruhi lebih lanjut oleh mereka.”
Setelah membawa kembali Prahlada ke sekolah, guru-guru Prahlada berkata kepadanya, “Prahlada yang baik, segala kedamaian dan kemujuran bagimu. Sekarang, kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu, jadi janganlah berbohong; jawablah dengan jujur. Anak-anak lain di sini tidaklah seperti dirimu; mereka tidaklah berbicara dengan cara yang menyimpang tentang ‘Tuhan’. 
Dari mana engkau mendapat ajaran-ajaran seperti itu? Apakah musuh-musuh kita telah mencemari dirimu?”
Prahlada menjawab, “Izinkan hamba menyampaikan sembah sujud penuh hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menyesatkan orang-orang yang berada di dunia sehingga di dalam pikiran mereka tercipta pembedaan-pembedaan seperti ‘kawan’ dan ‘musuh’. 
Sekarang hamba benar-benar melihat ketersesatan yang demikian, yang sebelumnya telah hamba dengar dari otiritas-otoritas yang terpelajar.
“Oleh karena kita semua adalah abdi-abadi Tuhan, kita tidak berbeda satu sama lain, tapi orang-orang yang tidak menyadari keberadaan Tuhan di dalam dirinya selalu berpikir dalam ranah ‘kawan’ dan ‘musuh’. 
Tuhan Yang Maha Esa yang sama yang telah menciptakan keadaan ini telah memberi hamba kecerdasan untuk berpihak pada yang Anda sebut-sebut musuh. Sebagaimana besi ditarik oleh magnet, hamba tetap tertarik kepada Tuhan.”, Ida sanghyang Widhi Wasa yang Maha Tunggal.
Demikianlah sepenggal dari kisah Prahlada yang sangat berbhakti diceritakan.
***