Adat Budaya Bali

Adat Budaya merupakan salah satu daya tarik pariwisata di Bali dalam hal seni budaya untuk dapat menambah nilai dari rasa keindahan dan estetika.
Sebutan Bali sebagai pulau dewata dan sebagai pulau surga merupakan refleksi dari segi sisi adat serta budaya yang bersumber dari agama Hindu.
Untuk menjaga pariwisata Bali sebagai potensi ekonomi dalam kesejahteraan masyarakat Bali, maka kebijakan strategis yang harus di kembangkan adalah memperkuat adat dan melestarikan budaya Bali sebagai kekuatan pariwisata Bali. 
Bali harus di kembangkan dengan landasan konsep “pariwisata untuk Bali” bukan sebaliknya “Bali untuk pariwisata”. Pariwisata harus menjadi pendorong penguatan adat dan budaya Bali, bukan sebaliknya Bali hanya diperuntukan semata-mata untuk industri pariwisata.
Adat dan budaya Bali memiliki elastisitas yang senantiasa mengikuti perkembangan zaman, namun senantiasa bertitik tolak pada nilai-nilai yang bersumber pada agama Hindu.
Apabila adat dan budaya dijadikan komoditas transaksi pariwisata maka adat dan budaya akan selalu menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. 
Konsep pembangunan seperti ini tidak akan berumur panjang dan tidak mencerminkan konsep pembangunan yang berkelanjutan.

Implementasi kebijakan perencanaan pembangunan kepariwisataan, pelestarian adat, budaya, agama dan penguatan desa pakraman, dilakukan antara lain melalui penetapan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 16 Tahun 2009 tentang penataan ruang. 

Dalam substansi Perda RTRWP Bali disamping mengatur kawasan pariwisata, juga mengatur kawasan suci (Pasal 50 ayat 1, Perda RTRWP Bali) dan kawasan tempat suci (Pasal 50 ayat 2, Perda RTRWP Bali) dan sempadan pantai (Pasal 50 ayat 4, Perda RTRWP Bali) dengan tujuan disamping dalam rangka penataan keindahan dan ancaman bahaya serta juga untuk memberikan ruang bagi masyarakat dalam memanfaatkan pantai sebagai ruang publik terutama untuk kegiatan upacara keagamaan

Ketentuan (Pasal 50 ayat 2, Perda RTRWP Bali) mengenai kawasan tempat suci apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal yang lain seperti arahan peraturan zonasi kawasan perlindungan setempat (Pasal 106 ayat 3 dan Pasal 108 Perda RTRWP Bali), menunjukkan bahwa sepanjang radius kesucian pura tersebut bukan berarti tidak boleh dimanfaatkan. 
Ada 3 (tiga) strata zonasi yang memungkinkan pemanfaatan ruang sesuai peruntukannya. 
Dengan demikian Perda ini dapat dilaksanakan secara efektif, maka perlu segera dibuatkan peraturan implementasi dalam bentuk peraturan tentang zonasi sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Perda RTRWP Bali. 
Dengan ketegasan pengaturan seperti ini, maka sangat jelas peruntukan kawasan yang boleh dimanfaatkan, sehingga pemanfaatan ruang untuk kegiatan adat, budaya dan keagamaan akan semakin luas. 
Hal ini sekaligus menunjukan bahwa konsep ini mencerminkan sinergi antara pariwisata dan budaya dalam bentuk pariwisata budaya secara riil.

Adanya pemberdayaan adat, budaya dan agama dengan sendirinya akan mendorong adanya penguatan institusi desa pakraman di Bali sebagai wadah pengorganisasian masyarakat atau krama Bali. 

Desa pakraman di Bali secara eksitensial telah diatur di dalam Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 yang telah dirubah melalui Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. 
Dari segi pengorganisasian desa pakraman, telah dibentuk organisasi tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan dengan seluruh desa pakraman di Bali berjumlah 1.485 desa pakraman.
Bila mencermati Perda RTRW Provinsi Bali tahun 2009-2029, secara singkat dapat disampaikan bahwa Perda ini cukup ideal dalam menjaga kelestarian lingkungan di Bali. 

Keidealan ini tercermin dalam Pasal 3 Perda RTRWP Bali yang secara tegas mendudukan tujuan Perda ini adalah untuk mewujudkan ruang wilayah Provinsi Bali yang berkualitas, aman, nyaman, produktif, berjati diri berbudaya Bali dan berwawasan lingkungan hidup berlandaskan Tri Hita Karana
Selain itu tujuannya adalah keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang. 
Maka pengaturan radius kesucian pura berdasarkan Bhisama PHDI, ketinggian bangunan serta batas pantai adalah sebuah keniscayaan. Hal ini mengingat Provinsi Bali sebagai gugusan pulau kecil yang patut mendapatkan penanganan khusus dalam penataan ruangnya. 

Tentu saja penataan ruang secara visioner dengan Perda RTRW Provinsi sebagai pedoman pokok bagi penataan ruang bagi setiap kabupaten/kota di Bali dalam kurun waktu 20 tahun ke depan sangat diperlukan.

Demikian dijelaskan dalam Local Genius Dalam Perda Tata Ruang Bali (RTRW No 16/2009) yang memiliki 19 bab serta 153.
***