Pupuh Ginada

Pupuh Ginada adalah anutan dalam etika kehidupan sehari-hari yang disusun sangat pendek namun memiliki makna yang amat bermanfaat dimana :
Tidak menjadi sombong dengan sifat mardhawa yang dimiliki dan selalu mempelajari diri adalah makna inti dari pupuh ini.
Pupuh ginada ini juga biasanya dilantunkan dalam acara kekeluargaan untuk mengisi waktu luang sambil membuat tape banten seperti pupuh ginada dalam artikel nak Bali dilantunkan sebagi berikut :
Eda ngaden awak bisa depang anake ngadanin;
Geginane buka nyampat.
Anak sai tumbuh lulu;
Ilang lulu ebuk katah.
Yadin ririh;
Enu liu peplajahan.
Namun kalimat “eda ngaden awak bisa” dan “depang anake ngadanin” dalam koleksi lontar BaliWisdom disebutkan : 
Hendaknya jangan dijadikan tameng untuk berlindung dari rasa rendah diri dan minder. Kadang ada orang yang sudah belajar banyak namun masih enggan menunjukkan kemampuannya karena takut dia belum cukup mampu,diapun berkilah dengan mngatakan “depang anake ngadanin”.
Masalahnya, jika anda bahkan tidak pernah menunjukkan apa yang anda bisa lakukan, bagaimana orang lain bisa menilai anda?
Tentu saja di titik ini anda perlu menilai diri secara objektif, menakar kemampuan anda secara jelas bukan malah bias. 
Penilaian secara objektif inilah yang akan menyelamatkan kita dari jebakan keangkuhan merasa sudah serba bisa.
“Sudah merasa bisa”. Merasa puas dengan kemampuan yang telah dicapai kadang memang diperlukana sebagai cara untuk mengapresiasi diri, namun rasa puas berlebih sampai menimbulkan keenganan untuk belajar lebih jauh bisa jadi sangat merugikan. 
Apa lagi jika apa yang telah dibisai membuat anda merasa kalau anda berhak sombong.
Jika kiranya kita sedang berada di titik ini, maka lanjutan kedua kutipan kalimat yang menjadi judul artikel inipun kiranya perlu direnungkan, “depang anake ngadanin” atau biarkan orang lain yang memberi penilaian. 
Jangan sampai sebagaimana dinasehatkan para leluhur kita, kita menjadi “care goak ngadanin dewek”, seperti burung gagak yang bersuara untuk “menamai dirinya”.
Dalam Kitab Niti Sataka telah ditulisakan, 
Jika seseorang bodoh dan merasa dirinya bodoh, maka dia bisa belajar lalu setelahnya akan menjadi bisa. Namun jika seseorang bodoh namun merasa dirinya pintar maka meski Dewa Brahma sekalipun tidak akan bisa mengajarinya.”
Belajar secara terus menerus diperlukan di jaman yang terus berkembang dan berubah, apa lagi jika kita sedang mengusahakan keberhasilan dalam beberapa bidang kehidupan kita. 
Dan penilaian atas hasil belajar tersebut biarlah dilakukan oleh “orang sekeliling” yang memahami dan memakai hasil pembelajaran kita tersebut.
***