Kebudayaan Indonesia Asli

Kebudayaan Indonesia asli yang dimaksudkan disini adalah kebudayaan sebelum datangnya pengaruh kebudayaan Hindu (# yang berasal India Kuno) atau disebut pula kebudayaan Pra-Hindu atau Pra Sejarah
Guna kepentingan pemujaan arwah leluhur, pada masa perundagian masyarakat Indonesia mendirikan bangunan tempat pemujaan yang disebut punden berundak yaitu bentuk bangunan yang teras piramida dimana pada bagian atasnya ditempatkan: menhir
Pada perkembangan selanjutnya menhir sebagai lambang tempat pemujaan arwah leluhur digantikan dengan wujud arca sederhana atau ada yang menyebut arca primitif karena bentuknya memang sangat sederhana.
Beberapa ilmuwan Barat menyatakan pendapat yang sama seperti: 
  • Miguel Covarrubias dalam bukunya Island of Bali, 1937 menyatakan: The Balinese Assimilate New and Foreign Ideas Into Tradisional Form. 
  • Demikian pula Fritaz A Wagner, 1959 dalam bukunya Indonesia, The Art of an Island Group menyebutkan: On Bali Culture Develop a unique character, Pra Hindu, Hindu-Budha, Hindu Javanese element merged to form unity and diversity.
  • Menurut ilmuwan Perancis Dr. G. Cocdes yang ahli tentang sejarah kuna Asia Tenggara dalam bukunya The Indianized State in South East Asia, 1968 menyatakan ada beberapa elemen-elemen kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa Asia Tenggara sebelum datangnya pengaruh Hindu yaitu :
    • Penanaman padi dengan sistem pengairan. (seperti keberadaan sistem subak)
    • Menjinakkan binatang, lembu dan kerbau.
    • Teknik menuang logam (seperti dahulu adanya nekara sebagai hasil teknologi logam perunggu yang mencapai puncaknya pada akhir zaman prasejarah).
    • Kepandaian dalam pelayaran.
    • Sistem kekerabatan material.
      • Sebuah jalinan keluarga yang bertujuan untuk dapat mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan.
    • Dibidang kepercayaan, percaya pada pemujaan roh leluhur.
    • Tempat sucinya berbentuk teras piramid dengan menhir di atasnya.
    • Sistem penguburan dengan memakai sarkofa dan tempayan.
    • Konsep cosmological dualisme yaitu gunung dan laut (seperti adanya upacara nyegara gunung).
  • Dr. WF Stutterhiem dalam tulisannya yang berjudul Indian Influence in Old Balinese Art, 1935 menyatakan: “ The Balinese applaid the aquired knowledge from Indonesian order arrive at his own system”. Sebagai contoh kearifan lokal kebudayaan Bali pada aspek keagamaan adalah sistem pemujaan arwah leluhur yang dianut masyarakat pada masa megalitik melanjut terus setelah datangnya kebudayaan Hindu. Kedua sistem kepercayaan ini berdampingan antara pemujaan arwah leluhur (Hyang) yang disebut bhatara dan pemujaan Tuhan yang disebut Hyang Widhi Wasa atau Hyang Parama Kawi.
Demikian pula tempat-tempat pemujaan atau Pura, ada yang dikelompokkan untuk pemujaan roh suci leluhur (bhatara) disebut : Pura Kawitan (Dadia atau Paibon), Padharman dan untuk Hyang Widhi disebut Kahyangan Jagat seperti Kahyangan Tiga dan Sad Kahyangan
Di dalam pura ada bangunan suci tempat pemujaan roh suci leluhur dan Hyang Widhi dibangun berdampingan yaitu Padmasana sebagai Singgasana Hyang Widhi dan Kemulan, Pajenengan sebagai tahta Ida Bhatara, leluhur suci.
Terjadinya hubungan antara kedua kebudayaan antara pra sejarah dan Hindu mewujudkan satu integrasi yang utuh antara tradisi, agama dan kebudayaan serta mewujudkan suatu konfigurasi nilai yang menjadi landasan dasar bagi pembentukan identitas manusia dan masyarakat Bali. 
Konfigurasi nilai dasar tersebut terdiri dari nilai-nilai solidaritas, estetis dan religius.
Kemudian datang pengaruh agama Hindu dengan filsafat-filsafatnya. Mengenai Sanggah Kemulan Rong Kalih dan Rong Tiga dapat saya ajak saudara ke bidang filsafat yaitu filsafat Sangkhya

Filsafat India ini yang merupakan filsafat dualistis datang juga ke Bali dengan ajaran Cetana dan Acetananya. 
Karena memang manusia Bali sudah mempunyai kearifan lokal pelajaran filsafat Sangkhya itu diolah sesuai dengan desa kala patra yaitu keadaan daya pikir manusia Bali yang menganut Siwaistis. 
Oleh karena keadaan Cetana dan Acetana diganti dengan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa Atma yang disebut Maya Siwa Tattwa.
Apabila Cetana dan Acetana terpisahkan akan lenyaplah alam semesta ini bagaikan impian yang lenyap mengikuti kesadaran yang bangun dari tidur. Cetana itu ada yang bersifat kuat, sedang dan kendor (lemah) maka menurut sifatnya dibagi atas tiga bagian masing-masing dengan nama: 
  • Parama Siwa | Dia kekal tiada berubah, tiada dilahirkan, tua maupun mati. Tiada awal dan tiada akhir.
  • Sada Siwa | memiliki kekuatan cadu sakti yang bersifat gaib, suci nirmala yang menjadi jiwa dari segala yang bernyawa.
  • Siwatma atau Sanghyang Mayasiwa Tattwa | telah terjamah oleh Triguna (Satwa, Rajah, Tamah) bersifat suci, dan bersih yang menjadi sumber kehidupan Bhuwana Agung alam semesta ini.
Demikianlah dijelaskan dalam beberapa kutipan dari Sistem Keyakinan dan Kepercayaan Di Bali, jauh sebelum datangnya pengaruh Hindu ke daerah Nusantara, berdasarkan hasil-hasil penelitian arkeologi yang dilakukan para ilmuwan Barat dan putra Indonesia yang sebagaimana dikatakan bahwa di Indonesia sendiri telah mempunyai kebudayaan yang tinggi mutunya.
Dan dalam kehadiran Agama Hindu di Indonesia, dimana warna warni kebudayaan lokal  yang telah ada dari sejak dahulu kala memiliki kemampuan dan posisi yang sama kuat ketika berhadapan dengan kebudayaan yang datang dari luar sehingga proses lahirnya kebudayaan baru terjadi dalam proses dialogis yang panjang.
***